My Profil

Foto saya
Dengan nama pena Cantika Zee, akan kucoba melukiskan tinta diatas tahta suka antologi atau solo, Amin

Senin, 22 Oktober 2012

Bebas Dari Belenggu Putra


Biru langit hari ini tidak bisa menggubris hatiku yang sedang gunda gulana. Sepinya hari mulai mengoyak selaksa jiwa. Merintih rasanya hati kecilku ini. Begitu dahsyatnya laki-laki sialan dengan wajah seadanya itu memporak-porandakan hatiku. Keji sekali kamu Putra. Demi bumi dan langit aku akan selalu mengenang kisah di sore hari yang mencekam itu. Tepat dipelataran senja.

***
            Bila ada sebuah meteran yang bisa mengukur dalamnya perasaan dan hati, cobalah. Coba bantu aku untuk mengukur dalamnya cinta ini kepada Putra. Laki-laki muda dengan kumis tipis menggoda yang menggantung eksotis dibawah hidungnya yang mancung. Seorang punjangga yang sudah tiga tahun ini menemani segenap jiwa lajang manis Cantika Zee. Dia benar-benar mempesona dan menawan dengan perawakannya yang berisi, postur tubuhnya yang tegap menyandingku dengan serasinya. Tepat berada dibawah telinganya saat kami sedang berjalan berdua.
            Semua kata indah selalu menemani dan mengantarkan aku pulang ke peristirahatan. Disambut pula dengan kata indah setelah aku terbangun. Sungguh mengasyikkan, membuat aku terperanga ketika membayangkan ulang. Tidak ada sedikitpun kata bosan dalam merantas cinta selama dibangku Sekolah Menengah Atas ini. Semua seakan menjamin akan adanya akhir bahagia.
            Namun, waktu sepertinya mempunyai perkataan lain. Sungguh jauh dari harapan dua hati yang sedang bahkan selalu dimanjakan oleh asmara ini. Tiba-tiba ada hal mencengangkan yang membuat semuanya terpental dari jalur cinta. Ada sebuah surat yeng berisi wasiat Ibu Putra yang sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu, tepatnya sebelum Putra berlabuh dihatiku. Ini sungguh menyesakkan. Kata-katanya begitu lembut. Namun, sungguh berhasil menancapkan duri kecil dihatiku.
            “Putra sayang, Mama pergi dulu ya. Mama sudah tidak sanggup lagi menderita seperti ini” Putra kembali terisak saat membacakan surat itu dihadapanku. Ya, aku memaksanya dan sungguh kusesali. ”Tapi tenang sayang, disini Mama akan selalu mendoakanmu dan juga melindungimu. Mama punya sebuah keinginan, Nak. Belum sempat Mama utarakan karena penyakit ini sudah benar-benar melahap bagian kiri tubuh Mama. Kamu tahu itu kan?” kembali buliran berharga keluar dengan derasnya dari pipi Putra, begitupun aku. Sudah tidak mampu kutahan buliran berharga yang mendesak ingin keluar.
            ”Jangan pernah kamu menikahi ataupun berhubungan dengan perempuan dengan awalan C pada namanya. Mengapa tanyamu? Mama sudah tidak bisa menjelaskan. Lihatlah tulisan ini, sungguh Mama paksakan agar bisa terukir. Semoga kamu bisa menuruti kemauan Mama dan menjaga hati Mama agar bisa terus bahagia ditempat asing ini. Kecup kasih sayang Mama untukmu”. Sungguh aku tertegun, sembari ku bersihkan wajahku yang sudah penuh dengan air bening penuh duka. Akupun melakukan hal yang sama untuk wajah Putra. Ya, walaupun ini adalah kesempatan terakhir.
            ”Aku tidak habis pikir dengan isi surat ini” ungkap Putra dengan terbata karena menggunakan energi bicara yang masih dibarengi oleh isak tangis. ”Sudahlah! Jangan disesali. Bukan salah Ibumu, bukan juga salahmu, bukan salah huruf C pada awalan namaku juga. Ini semua takdir, Put. Mungkin kita ditakdirkan menjadi sahabat” tuturku panjang lebar. Mencoba mendustai hati yang saat ini sedang porak-poranda diterpa angin tornado yang dahsyat. Tidak kutemukan respon apapun dari kata-kata yang baru saja kulontarkan.
            ”Kita putus, Put” ucapku sengit dengan suasana otak yang masih penuh dengan pikiran diawang-awang. Sontak dibarengi oleh tatapan nanar Putra yang berubah menjadi terbelalak. Langsung ditatapnya mataku dalam-dalam. Sungguh terasa, begitu syahdu dan indah. ”Aku tidak mau, enak saja surat bodoh ini bisa membuatku tidak berharga dihadapanmu” pekik Putra sembari mendekat dan turun dari kursi hingga posisi duduknya berada dilantai. Dipeluknya lututku sembari terus memohon dan menitikkan air mata. Sungguh bingung aku menghadapi kejadian ini. Terbayang pula dibenakku bila orang tuaku datang secara tiba-tiba setelah pulang dari pesta hajatan tetangga. Langsung saja kuangkat bahunya sembari ku sentuh pipinya dengan lembut. Kutatap matanya yang sendu, dan akhirnya tanpa ku suruh dia beranjak pergi dari rumah.

***
            Berhari-hari aku meratapi kisah cinta yang sudah terbina sejak lama itu. Tersedu-sedu sendiri meratapi kebodohan yang sudah kulakukan. Namun, apalah artinya. Dia memilih pergi juga, dan surat itu memang ikut menggetarkan hatiku sampai bibir ini tak kuasa membendung ucap putus yang dengan mudahnya merubah semua keadaan yang berjalan bahagia selama ini.
            ”Caca, ayo keluar! Dari kemarin kamu tidak makan” bujuk kakakku yang sepertinya disuruh oleh Ibu dan Ayah. Tidak kutimpali dengan kata apapun. Dia bosan dan akhirnya berlalu. Berrganti lagi bujukan yang sama dari Ayah dan Ibu secara bersamaan. Tetap tidak kugubris. ”Biarlah, Bu. Mungkin Caca sedang terpukul” kata Ayahku sembari diajaknya pergi Ibu yang terus memaksaku keluar. Bisa dibayangkan betapa hancurnya hatiku saat itu. Sampai dua hari berturut-turut tidak ada sesuap nasi pun yang masuk keperut. Bahkan tidak melewati kerongkongan sama sekali.

***
            Detik berganti dengan cepat. Menit, jam dan hari sudah terlampaui. Akupun sudah puas, bahkan lebih. Rasa lapar dan haus sudah mulai merasuk. Kuputuskan untuk keluar dari kamar dan mulai menyongsong hari selanjutnya. Disela-sela masa pengangguran ini. Ya, ku sebut ini masa pengangguran karena aku baru saja lulus sekolah dan belum melanjutkan ke perguruan tinggi. Ya, sudah terdaftar memang disebuah Perguruan Tinggi Negeri di Provinsi sebelah. Namun, nyatanya tetap belum mempunyai kegiatan.
            “Untuk bisa move on dengan cepat aku harus mencari kegiatan” ucapku dengan nada membara dan bergelora. Karena memang itulah jalan satu-satunya untuk bisa terlepas dari belenggu Putra yang masih saja merasuk hingga detik ini. Mengikuti kursus? Wah, sudah kulakukan. Namun, sepertinya masih kurang berpengaruh. Kucoba pula berlibur ke rumah saudara, tetap masih menggebu-gebu rasa itu dikepalaku. Sampai akhirnya, aku terjebak dalam dunia kepenulisan.
            Berawal dari sebuah catatan milik teman facebook yang terbaca olehku. Sebuah lomba menulis yang bertema patah hati. “Wah, ini dia kesempatanku untuk meluapkan semua perasaan bersalah dan penyesalan” ditambah bayang Putra yang selalu mengikuti, menjadi pemicu hatiku untuk mencurahkan semuanya kedalam tulisan pertamaku ini. Ya, tulisan yang sebenarnya sudah tidak tertampung lagi oleh buku harianku karena sudah terlalu banyak dan panjang. Apalagi menulis adalah salah satu hal positif yang belum pernah kucoba untuk bisa melupakan belenggu Putra dengan cepat.
            Tulisan acak-acakanku yang berjudul Patah Hati ini belum memiliki tempat dihati para juri. Tidak terlihat namaku pada catatan pengumuman pemenang lomba. Namun entah kenapa, tidak ada perasaan sedih yang menggelayuti. Mungkin karena sudah kucurahkan semua kekesalan yang ada pada hatiku didalam tulisan itu. Pikiranku tentang Putra juga sudah menipis kadarnya. Sepertinya aku sudah melupakan sedikit demi sedikit cinta murni yang terjalin sejak lama itu.
            Apalagi saat ini, kesibukanku mengejar dateline untuk menawar rasa penasaran dihati juga semakin membuatku kerepotan. Jujur saja aku lebih menyukai belenggu dateline ini daripada belenggu Putra yang begitu sukses merajam hatiku. Perlahan namun pasti, satu per satu event menulis kuikuti dengan tulisanku yang seadanya. Kadang berbuah kemenangan, juga menuai kesedihan. Bahkan sempat tertipu juga oleh penyelenggara yang meninggalkan lapaknya begitu saja. Pahit, pedas dan manis dalam menjalani dunia yang ku geluti ini sudah benar-benar terasa. Bahkan, bisa membuat aku lupa akan Putra yang sudah berlalu itu.
            Senang, sedih dan semua kegalauan yang ada bisa ku curahkan kedalam tulisan. Ya, tentu saja bisa membuat hatiku jauh lebih tenang. Bisa pula hatiku berubah-ubah rasanya. Kadang dituntut untuk bersedih demi mendalami sebuah karya tulis yang bertema kesedihan. Kadang harus berkhayal untuk menciptakan karya dengan tema fantasi. Juga banyak hal lain yang bisa  kuukirkan dengan lincah ditemani pena sisa sekolah dan buku tulis tebal yang sengaja kubeli.

***
            “Ca, ini dia pelakunya” ungkap Putra setelah menunggu Ibuku masuk kerumah bagian dalam. “Ini dia orang yang membuat surat wasiat palsu itu” imbuhnya sembari dilihatnya Laras dengan dengan pandangan sinis. Aku termangu, terbelalak mataku mendangar semua perkataan Putra. Sampai akhirnya Laras mengakui semua perbuatannya itu. Ya, Laras teman sekelasku yang sempat akrab dengan kami berdua. Dia hanya tertunduk dengan memasang wajah bersalah.
            Sampai saat ini aku masih tidak habis pikir dengan semua kejadian yang baru saja kulalui beberapa detik lalu. “Aku minta maaf ya Ca, bukan maksudku untuk menghancurkan hubungan kalian” jelas Laras yang memang sejak dulu pernah digosipkan menyukai Putra dengan nada lembut. “Apa? Bukan maksudmu? Jadi ini maksud siapa? Enak saja kamu berkata seperti itu. Gara-gara ulah surat bodoh itu, aku harus kehilangan Cantika” langsung saja Putra menghardik dengan kata-kata kasar itu. Akupun masih terdiam.
            “Maaf Ca, maaf!” pinta Laras lagi. “Iya” kuucapkan kata singkat itu untuk menjawab penantian Laras yang sudah berlangsung cukup lama. Beberapa detik suasana diruang depan ini sunyi. Separti ada malaikat yang sedang menumpang lewat. “Ya sudah, aku pulang dulu ya” pamit Laras. Kuantarkan dia sampai ke halaman, dan duduk lagi didekat Putra yang masih setia menunggu. Sepertinya dia ingin mengungkapkan sesuatu.

***
            “Maaf ya” pintaku. Hanya dibalasnya dengan anggukan kecil lalu dia berlalu. Sepertinya sangat sulit bagiku untuk bisa menjalin hubungan lagi dengan Putra. Setelah begitu banyak hal yang harus kulakukan untuk bisa move on dan terlepas dari belanggunya. Aku lebih memilih untuk bersahabat dengan laki-laki yang cintanya sempat kurasakan selama tiga tahun itu. Tidak mungkin aku harus dua kali broken heart dan kembali move on lagi. Sudah tidak sanggup rasanya. Dari ujung pagar dia menampakkan senyum kakunya, sembari membawa mobil mewah andalannya menjauh dari kediamanku.









Is Susanti adalah sulung dari tiga bersaudara, mempunyai nama pena Cantika Zee. Anak dari pasangan Bapak Irsan dan Ibu Susilawati, lahir dan besar di Kota Pagaralam 31 Juli 1995. Bisa dihubungi melalui akun facebook Is Susanti/Is Susanti II, akun twitter @issusiis. Hobinya adalah mendengarkan musik. Pernah memenangkan lomba menulis tingkat nasional dan daerah. Sekarang memiliki beberapa buku antologi, baik yang sudah terbit atau dalam masa penerbitan. Dan, sedang menjalani pendidikan di Universitas Bengkulu dengan jurusan Administrasi Negara.

1 komentar: