Biru langit hari ini tidak bisa menggubris hatiku
yang sedang gunda gulana. Sepinya hari mulai mengoyak selaksa jiwa. Merintih
rasanya hati kecilku ini. Begitu dahsyatnya laki-laki sialan dengan wajah
seadanya itu memporak-porandakan hatiku. Keji sekali kamu Putra. Demi bumi dan
langit aku akan selalu mengenang kisah di sore hari yang mencekam itu. Tepat
dipelataran senja.
***
Bila
ada sebuah meteran yang bisa mengukur dalamnya perasaan dan hati, cobalah. Coba
bantu aku untuk mengukur dalamnya cinta ini kepada Putra. Laki-laki muda dengan
kumis tipis menggoda yang menggantung eksotis dibawah hidungnya yang mancung.
Seorang punjangga yang sudah tiga tahun ini menemani segenap jiwa lajang manis
Cantika Zee. Dia benar-benar mempesona dan menawan dengan perawakannya yang
berisi, postur tubuhnya yang tegap menyandingku dengan serasinya. Tepat berada
dibawah telinganya saat kami sedang berjalan berdua.
Semua kata indah selalu menemani dan
mengantarkan aku pulang ke peristirahatan. Disambut pula dengan kata indah
setelah aku terbangun. Sungguh mengasyikkan, membuat aku terperanga ketika
membayangkan ulang. Tidak ada
sedikitpun kata bosan dalam merantas cinta selama dibangku Sekolah Menengah
Atas ini. Semua seakan menjamin akan adanya akhir bahagia.
Namun, waktu sepertinya mempunyai
perkataan lain. Sungguh jauh dari harapan dua hati yang sedang bahkan selalu
dimanjakan oleh asmara ini. Tiba-tiba
ada hal mencengangkan yang membuat semuanya terpental dari jalur cinta. Ada
sebuah surat yeng berisi wasiat Ibu Putra yang sudah meninggal sepuluh tahun
yang lalu, tepatnya sebelum Putra berlabuh dihatiku. Ini sungguh menyesakkan.
Kata-katanya begitu lembut. Namun, sungguh berhasil menancapkan duri kecil
dihatiku.
“Putra sayang, Mama pergi dulu ya. Mama
sudah tidak sanggup lagi menderita seperti ini” Putra kembali terisak saat
membacakan surat itu dihadapanku. Ya, aku memaksanya dan sungguh kusesali.
”Tapi tenang sayang, disini Mama akan selalu mendoakanmu dan juga melindungimu.
Mama punya sebuah keinginan, Nak. Belum sempat Mama utarakan karena penyakit
ini sudah benar-benar melahap bagian kiri tubuh Mama. Kamu tahu itu kan?”
kembali buliran berharga keluar dengan derasnya dari pipi Putra, begitupun aku.
Sudah tidak mampu kutahan buliran berharga yang mendesak ingin keluar.
”Jangan
pernah kamu menikahi ataupun berhubungan dengan perempuan dengan awalan C pada
namanya. Mengapa tanyamu? Mama sudah tidak bisa menjelaskan. Lihatlah tulisan
ini, sungguh Mama paksakan agar bisa terukir. Semoga kamu bisa menuruti kemauan
Mama dan menjaga hati Mama agar bisa terus bahagia ditempat asing ini. Kecup
kasih sayang Mama untukmu”. Sungguh aku tertegun, sembari ku bersihkan wajahku
yang sudah penuh dengan air bening penuh duka. Akupun melakukan hal yang sama
untuk wajah Putra. Ya, walaupun ini adalah kesempatan terakhir.
”Aku
tidak habis pikir dengan isi surat ini” ungkap Putra dengan terbata karena
menggunakan energi bicara yang masih dibarengi oleh isak tangis. ”Sudahlah!
Jangan disesali. Bukan salah Ibumu, bukan juga salahmu, bukan salah huruf C
pada awalan namaku juga. Ini
semua takdir, Put. Mungkin kita ditakdirkan menjadi sahabat” tuturku panjang
lebar. Mencoba mendustai hati yang saat ini sedang porak-poranda diterpa angin
tornado yang dahsyat. Tidak kutemukan respon apapun dari kata-kata yang baru
saja kulontarkan.
”Kita
putus, Put” ucapku sengit dengan suasana otak yang masih penuh dengan pikiran
diawang-awang. Sontak dibarengi oleh tatapan nanar Putra yang berubah menjadi
terbelalak. Langsung ditatapnya mataku dalam-dalam. Sungguh terasa, begitu
syahdu dan indah. ”Aku tidak mau, enak saja surat bodoh ini bisa membuatku
tidak berharga dihadapanmu” pekik Putra sembari mendekat dan turun dari kursi
hingga posisi duduknya berada dilantai. Dipeluknya lututku sembari terus memohon
dan menitikkan air mata. Sungguh bingung aku menghadapi kejadian ini. Terbayang
pula dibenakku bila orang tuaku datang secara tiba-tiba setelah pulang dari
pesta hajatan tetangga. Langsung saja kuangkat bahunya sembari ku sentuh pipinya
dengan lembut. Kutatap matanya yang sendu, dan akhirnya tanpa ku suruh dia
beranjak pergi dari rumah.
***
Berhari-hari
aku meratapi kisah cinta yang sudah terbina sejak lama itu. Tersedu-sedu
sendiri meratapi kebodohan yang sudah kulakukan. Namun, apalah artinya. Dia
memilih pergi juga, dan surat itu memang ikut menggetarkan hatiku sampai bibir
ini tak kuasa membendung ucap putus yang dengan mudahnya merubah semua keadaan
yang berjalan bahagia selama ini.
”Caca,
ayo keluar! Dari kemarin kamu tidak makan” bujuk kakakku yang sepertinya
disuruh oleh Ibu dan Ayah. Tidak kutimpali dengan kata apapun. Dia bosan dan
akhirnya berlalu. Berrganti lagi bujukan yang sama dari Ayah dan Ibu secara
bersamaan. Tetap tidak kugubris. ”Biarlah, Bu. Mungkin Caca sedang terpukul”
kata Ayahku sembari diajaknya pergi Ibu yang terus memaksaku keluar. Bisa
dibayangkan betapa hancurnya hatiku saat itu. Sampai dua hari berturut-turut
tidak ada sesuap nasi pun yang masuk keperut. Bahkan tidak melewati
kerongkongan sama sekali.
***
Detik
berganti dengan cepat. Menit, jam dan hari sudah terlampaui. Akupun sudah puas, bahkan lebih. Rasa
lapar dan haus sudah mulai merasuk. Kuputuskan untuk keluar dari kamar dan
mulai menyongsong hari selanjutnya. Disela-sela masa pengangguran ini. Ya, ku sebut ini masa pengangguran karena aku baru saja lulus
sekolah dan belum melanjutkan ke perguruan tinggi. Ya, sudah terdaftar memang
disebuah Perguruan Tinggi Negeri di Provinsi sebelah. Namun, nyatanya tetap
belum mempunyai kegiatan.
“Untuk bisa move on
dengan cepat aku harus mencari kegiatan” ucapku dengan nada membara dan
bergelora. Karena memang itulah jalan satu-satunya untuk bisa terlepas dari
belenggu Putra yang masih saja merasuk hingga detik ini. Mengikuti kursus? Wah,
sudah kulakukan. Namun, sepertinya masih kurang berpengaruh. Kucoba pula
berlibur ke rumah saudara, tetap masih menggebu-gebu rasa itu dikepalaku.
Sampai akhirnya, aku terjebak dalam dunia kepenulisan.
Berawal dari sebuah
catatan milik teman facebook yang terbaca olehku. Sebuah lomba menulis yang
bertema patah hati. “Wah, ini dia kesempatanku untuk meluapkan semua perasaan
bersalah dan penyesalan” ditambah bayang Putra yang selalu mengikuti, menjadi
pemicu hatiku untuk mencurahkan semuanya kedalam tulisan pertamaku ini. Ya,
tulisan yang sebenarnya sudah tidak tertampung lagi oleh buku harianku karena
sudah terlalu banyak dan panjang. Apalagi menulis adalah salah satu hal positif
yang belum pernah kucoba untuk bisa melupakan belenggu Putra dengan cepat.
Tulisan
acak-acakanku yang berjudul Patah Hati ini belum memiliki tempat dihati para
juri. Tidak terlihat namaku pada catatan pengumuman pemenang lomba. Namun entah
kenapa, tidak ada perasaan sedih yang menggelayuti. Mungkin karena sudah
kucurahkan semua kekesalan yang ada pada hatiku didalam tulisan itu. Pikiranku
tentang Putra juga sudah menipis kadarnya. Sepertinya aku sudah melupakan
sedikit demi sedikit cinta murni yang terjalin sejak lama itu.
Apalagi saat ini,
kesibukanku mengejar dateline untuk menawar rasa penasaran dihati juga semakin
membuatku kerepotan. Jujur saja aku lebih menyukai belenggu dateline ini
daripada belenggu Putra yang begitu sukses merajam hatiku. Perlahan namun
pasti, satu per satu event menulis kuikuti dengan tulisanku yang seadanya.
Kadang berbuah kemenangan, juga menuai kesedihan. Bahkan sempat tertipu juga
oleh penyelenggara yang meninggalkan lapaknya begitu saja. Pahit, pedas dan
manis dalam menjalani dunia yang ku geluti ini sudah benar-benar terasa.
Bahkan, bisa membuat aku lupa akan Putra yang sudah berlalu itu.
Senang, sedih dan
semua kegalauan yang ada bisa ku curahkan kedalam tulisan. Ya, tentu saja bisa
membuat hatiku jauh lebih tenang. Bisa pula hatiku berubah-ubah rasanya. Kadang
dituntut untuk bersedih demi mendalami sebuah karya tulis yang bertema
kesedihan. Kadang harus berkhayal untuk menciptakan karya dengan tema fantasi.
Juga banyak hal lain yang bisa kuukirkan
dengan lincah ditemani pena sisa sekolah dan buku tulis tebal yang sengaja
kubeli.
***
“Ca, ini dia
pelakunya” ungkap Putra setelah menunggu Ibuku masuk kerumah bagian dalam. “Ini
dia orang yang membuat surat
wasiat palsu itu” imbuhnya sembari dilihatnya Laras dengan dengan pandangan
sinis. Aku termangu, terbelalak mataku mendangar semua perkataan Putra. Sampai
akhirnya Laras mengakui semua perbuatannya itu. Ya, Laras teman sekelasku yang
sempat akrab dengan kami berdua. Dia hanya tertunduk dengan memasang wajah
bersalah.
Sampai saat ini aku
masih tidak habis pikir dengan semua kejadian yang baru saja kulalui beberapa
detik lalu. “Aku minta maaf ya Ca, bukan maksudku untuk menghancurkan hubungan
kalian” jelas Laras yang memang sejak dulu pernah digosipkan menyukai Putra
dengan nada lembut. “Apa? Bukan maksudmu? Jadi ini maksud siapa? Enak saja kamu
berkata seperti itu. Gara-gara ulah surat
bodoh itu, aku harus kehilangan Cantika” langsung saja Putra menghardik dengan
kata-kata kasar itu. Akupun masih terdiam.
“Maaf Ca, maaf!”
pinta Laras lagi. “Iya” kuucapkan kata singkat itu untuk menjawab penantian
Laras yang sudah berlangsung cukup lama. Beberapa detik suasana diruang depan
ini sunyi. Separti ada malaikat yang sedang menumpang lewat. “Ya sudah, aku
pulang dulu ya” pamit Laras. Kuantarkan dia sampai ke halaman, dan duduk lagi
didekat Putra yang masih setia menunggu. Sepertinya dia ingin mengungkapkan
sesuatu.
***
“Maaf ya” pintaku.
Hanya dibalasnya dengan anggukan kecil lalu dia berlalu. Sepertinya sangat
sulit bagiku untuk bisa menjalin hubungan lagi dengan Putra. Setelah begitu
banyak hal yang harus kulakukan untuk bisa move on dan terlepas dari
belanggunya. Aku lebih memilih untuk bersahabat dengan laki-laki yang cintanya
sempat kurasakan selama tiga tahun itu. Tidak mungkin aku harus dua kali broken
heart dan kembali move on lagi. Sudah tidak sanggup rasanya. Dari ujung pagar
dia menampakkan senyum kakunya, sembari membawa mobil mewah andalannya menjauh
dari kediamanku.
Is Susanti adalah sulung dari tiga bersaudara,
mempunyai nama pena Cantika Zee. Anak dari pasangan Bapak Irsan dan Ibu Susilawati, lahir dan besar di Kota
Pagaralam 31 Juli 1995. Bisa
dihubungi melalui akun facebook Is Susanti/Is Susanti II, akun twitter
@issusiis. Hobinya adalah mendengarkan musik. Pernah memenangkan lomba menulis
tingkat nasional dan daerah. Sekarang memiliki beberapa buku antologi, baik
yang sudah terbit atau dalam masa penerbitan. Dan, sedang menjalani pendidikan
di Universitas Bengkulu dengan jurusan Administrasi Negara.